Thursday, October 8, 2020

Sebuah Narasi Tentang Anggaran Buku

 Sebuah Narasi Tentang Anggaran Buku

Oleh : Wiwi Purnawati

Semenjak diberlakukannya Kurikulum 2013 berikutnya menyusul kebijakan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah berkaitan dengan regulasi tentang buku teks pembelajaran. Surat edaran yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kepala Sekolah yang menyelenggarakan Kurikulum 2013 wajib membeli buku teks Kurikulum 2013 melalui e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dengan menggunakan dana BOS.



Sesuai dengan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2018 dan Permendikbud Nomor 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknik Penggunaan Dana BOS, bahwa alokasi penggunaan dana BOS 20% untuk pembelian buku sebetulnya adalah dalam rangka mewujudkan pendidikan bebas biaya untuk pendidikan dasar wajib belajar 9 tahun. Namun pada kenyataannya menyisakan beberapa persoalan baru, baik dari sisi pendidik, peserta didik bahkan lebih luas berdampak pada sepinya penerbit dan toko buku. Karena memang pengadaan buku sendiri telah ditetapkan pada beberapa penerbit yang telah disetujui oleh pemegang kebijakan.

Umumnya ketika tahun ajaran baru akan banyak orang tua dan siswa berburu buku, namun saat ini toko buku tidak seramai dulu. Minat baca masyarakat juga belum mengalami peningkatan yang berarti. Kini tidak lagi tampak kerumunan pengunjung di toko buku yang berburu buku pelajaran maupun buku referensi penunjang pelajaran. Usaha percetakan dan toko buku ibarat mati suri. Jangankan meraih keuntungan diawal tahun ajaran baru, sekedar bertahan sampai tidak gulung tikar saja sudah untung.

Satu sisi buku siswa yang wajib dibeli dari dua puluh persen anggaran BOS ternyata harus berganti setiap tahunnya. Ditambah kondisi mayoritas sekolah yang belum melek literasi. Sehingga fenomena yang muncul bahwa buku itu sekedar dibeli tetapi masih minim pemanfaatannya. Sementara tahun berikutnya sudah berganti buku dengan cetakan terbaru.

Pada akhirnya perpustakaan sekolah tidak mampu lagi menampung ribuan buku teks pelajaran didalamnya. Bahkan nampak terjadi pergeseran fungsi perpustakaan yang seharusnya mendukung program literasi sekolah dengan menyediakan aneka macam buku referensi tetapi yang terjadi perpustakkan sekolah justru penuh sesak dengan buku siswa yang tidak lagi digunakan karena telah tergantikan dengan buku cetakan terbaru.

Buku referensi, diktat ataupun modul sebetulnya sangat dibutuhkan baik oleh siswa maupun guru untuk menunjang pembelajaran. Tanpa buku penunjang tentu saja siswa dan guru akan mengalami hambatan dalam kegiatan belajar mengajar. Hanya saja buku teks siswa setiap mata pelajaran  umumnya cukup tebal. Hal ini sebetulnya wajar karena buku itu juga berfungsi sebagai rujukan atau buku referensi.

Bagi peserta didik sendiri, ada rasa enggan untuk membawa banyak buku tebal. Alih-alih digunakan untuk menunjang pembelajaran justru banyak ditinggalkan di laci meja sekolah. Disisi lain minat baca siswa masih sangat rendah. Jangankan belajar mandiri bahkan pada saat pembelajaran pun beberapa siswa lebih memilih melihat materi atau catatan di buku temannya daripada harus membuka buku teksnya sendiri.  Inilah salah satu PR besar bagi para guru dalam menyajikan materi pembelajaran yang mampu mendorong minat baca siswa.

Salah satu cara mensiasati agar siswa membaca sendiri materi ajar yang disampaikan yaitu dengan menyajikan lembar kerja siswa secara lebih praktis dilengkapi dengan materi ajar yang dibutuhkan. Sehingga mau tidak mau siswa dituntut harus membaca. Sajikan buku pegangan siswa yang tidak terlalu tebal tetapi sarat dengan materi yang diperlukan. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran itu sendiri yang mampu menakar kemampuan peserta didik dan mampu memilih serta memilah kebutuhan materi ajar sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia. Guru sendiri yang akan membuat skenario pembelajaran di kelas termasuk menyediakan sarana penunjangnya. Mulai dari tujuan pembelajaran, materi inti, materi pengayaan, lembar diskusi siswa sampai dengan soal-soal latihan yang diperlukan. Inilah yang membedakan buku teks cetakan penerbit dengan buku teks yang disusun oleh guru mata pelajaran sendiri.

Selain memberikan manfaat lebih bagi peserta didik, buku teks karya guru juga sangat bermanfaat bagi guru. Terlebih semenjak diberlakukannya Permen PAN dan RB No. 16 Tahun 2009 tentang jabatan fungsional dan angka kreditnya. Peraturan tersebut menuntut guru melakukan kegiatan keprofesian berkelanjutan dan pengembangan diri. Termasuk tuntutan pengembangan diri yang dimaksud adalah membuat publikasi ilmiah. Salah satu bentuk publikasi nilmiah yang mudah dikerjakan oleh guru adalah membuat buku teks pelajaran.

Jika hal ini dipadukan, yaitu antara kebutuhan siswa akan buku teks pelajaran dan kebutuhan guru untuk penilaian pengembangan diri dengan menyususn buku teks pelajaran maka akan berdampak lebih positif. Kelebihan buku teks pelajaran hasil karya guru bisa dipastikan akan lebih efektif dan efisien penggunaannya dalam kegiatan pembelajaran.

Regulasi yang ada berkaitan dengan penggunaan anggaran Bantuan Operasional Sekolah sebesar dua puluh persen  yang dialokasikan untuk pengadaan buku teks pelajaran seharusnya lebih fleksibel dengan memberikan peluang bagi guru untuk berkarya menghasilkan buku teks pelajaran sendiri. Disamping guru mampu menghasilkan karya menerbitkan buku teks pelajaran, maka secara otomatis kompetensi guru akan meningkat. Baik kompetensi teknis berkaitan dengan mata pelajaran yang diampunya maupun kompetensi dalam bidang penulisan. Hal ini tentu saja menyebabkan literasi guru akan meningkat karena sebetulnya tidak hanya peserta didik yang membutuhkan buku referensi ataupun buku penunjang pembelajaran, melainkan guru juga lebih memerlukannya. Pada akhirnya guru akan berpacu untuk mengembangkan dan menghasilkan buku teks pelajaran setiap tahun.

Keuntungan yang lain dari sisi penerbitan buku yaitu akan semakin banyak usaha menengah dibidang penerbitan yang akan terbantu. Tidak hanya penerbit besar saja yang akan mendapat orderan menerbitkan buku teks pelajaran tetapi lebih meluas ke penerbit-penerbit skala kecil dan menengah. Sehingga akan meningkatkan pemerataan taraf ekonomi masyarakat.

 Dua puluh persen dari anggaran BOS bukanlah nominal yang sedikit. Akan jauh lebih memberikan dampak positif jika pengelolaannya lebih tepat. Tulisan ini bukan bermaksud mengkritik kebijakan yang berlaku, tetapi hanya sekedar menyampaikan sudut pandang yang berbeda berkaitan dengan alokasi anggaran buku. Dari sudut pandang penulis pribadi bahwa regulasi berkaitan dengan buku teks pelajaran yang diatur sedemikian rupa bertolak belakang dengan regulasi tentang kegiatan keprofesian berkelanjutan dan pengembangan diri bagi guru. Penulis berharap regulasi pemerintah berkaitan dengan pengembangan diri bagi guru juga didukung dengan regulasi lainnya yang sejalan. 

0 comments:

Post a Comment