Sebuah Narasi Tentang Anggaran Buku
Oleh : Wiwi Purnawati
Semenjak
diberlakukannya Kurikulum 2013 berikutnya menyusul kebijakan Dirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah berkaitan dengan regulasi tentang buku teks pembelajaran.
Surat edaran yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, Kepala
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kepala Sekolah yang menyelenggarakan
Kurikulum 2013 wajib membeli buku teks Kurikulum 2013 melalui e-katalog Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dengan menggunakan dana
BOS.
Sesuai
dengan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2018 dan Permendikbud Nomor 3 Tahun 2019
tentang Petunjuk Teknik Penggunaan Dana BOS, bahwa alokasi penggunaan dana BOS
20% untuk pembelian buku sebetulnya adalah dalam rangka mewujudkan pendidikan
bebas biaya untuk pendidikan dasar wajib belajar 9 tahun. Namun pada
kenyataannya menyisakan beberapa persoalan baru, baik dari sisi pendidik,
peserta didik bahkan lebih luas berdampak pada sepinya penerbit dan toko buku. Karena
memang pengadaan buku sendiri telah ditetapkan pada beberapa penerbit yang
telah disetujui oleh pemegang kebijakan.
Umumnya
ketika tahun ajaran baru akan banyak orang tua dan siswa berburu buku, namun
saat ini toko buku tidak seramai dulu. Minat baca masyarakat juga belum
mengalami peningkatan yang berarti. Kini tidak lagi tampak kerumunan pengunjung
di toko buku yang berburu buku pelajaran maupun buku referensi penunjang
pelajaran. Usaha percetakan dan toko buku ibarat mati suri. Jangankan meraih
keuntungan diawal tahun ajaran baru, sekedar bertahan sampai tidak gulung tikar
saja sudah untung.
Satu
sisi buku siswa yang wajib dibeli dari dua puluh persen anggaran BOS ternyata
harus berganti setiap tahunnya. Ditambah kondisi mayoritas sekolah yang belum
melek literasi. Sehingga fenomena yang muncul bahwa buku itu sekedar dibeli
tetapi masih minim pemanfaatannya. Sementara tahun berikutnya sudah berganti buku
dengan cetakan terbaru.
Pada
akhirnya perpustakaan sekolah tidak mampu lagi menampung ribuan buku teks pelajaran
didalamnya. Bahkan nampak terjadi pergeseran fungsi perpustakaan yang
seharusnya mendukung program literasi sekolah dengan menyediakan aneka macam
buku referensi tetapi yang terjadi perpustakkan sekolah justru penuh sesak
dengan buku siswa yang tidak lagi digunakan karena telah tergantikan dengan
buku cetakan terbaru.
Buku
referensi, diktat ataupun modul sebetulnya sangat dibutuhkan baik oleh siswa
maupun guru untuk menunjang pembelajaran. Tanpa buku penunjang tentu saja siswa
dan guru akan mengalami hambatan dalam kegiatan belajar mengajar. Hanya saja
buku teks siswa setiap mata pelajaran umumnya
cukup tebal. Hal ini sebetulnya wajar karena buku itu juga berfungsi sebagai
rujukan atau buku referensi.
Bagi
peserta didik sendiri, ada rasa enggan untuk membawa banyak buku tebal.
Alih-alih digunakan untuk menunjang pembelajaran justru banyak ditinggalkan di
laci meja sekolah. Disisi lain minat baca siswa masih sangat rendah. Jangankan
belajar mandiri bahkan pada saat pembelajaran pun beberapa siswa lebih memilih
melihat materi atau catatan di buku temannya daripada harus membuka buku teksnya
sendiri. Inilah salah satu PR besar bagi
para guru dalam menyajikan materi pembelajaran yang mampu mendorong minat baca
siswa.
Salah
satu cara mensiasati agar siswa membaca sendiri materi ajar yang disampaikan
yaitu dengan menyajikan lembar kerja siswa secara lebih praktis dilengkapi
dengan materi ajar yang dibutuhkan. Sehingga mau tidak mau siswa dituntut harus
membaca. Sajikan buku pegangan siswa yang tidak terlalu tebal tetapi sarat
dengan materi yang diperlukan. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh guru mata
pelajaran itu sendiri yang mampu menakar kemampuan peserta didik dan mampu
memilih serta memilah kebutuhan materi ajar sesuai dengan alokasi waktu yang
tersedia. Guru sendiri yang akan membuat skenario pembelajaran di kelas
termasuk menyediakan sarana penunjangnya. Mulai dari tujuan pembelajaran,
materi inti, materi pengayaan, lembar diskusi siswa sampai dengan soal-soal
latihan yang diperlukan. Inilah yang membedakan buku teks cetakan penerbit
dengan buku teks yang disusun oleh guru mata pelajaran sendiri.
Selain
memberikan manfaat lebih bagi peserta didik, buku teks karya guru juga sangat
bermanfaat bagi guru. Terlebih semenjak diberlakukannya Permen PAN dan RB No.
16 Tahun 2009 tentang jabatan fungsional dan angka kreditnya. Peraturan
tersebut menuntut guru melakukan kegiatan keprofesian berkelanjutan dan
pengembangan diri. Termasuk tuntutan pengembangan diri yang dimaksud adalah
membuat publikasi ilmiah. Salah satu bentuk publikasi nilmiah yang mudah
dikerjakan oleh guru adalah membuat buku teks pelajaran.
Jika
hal ini dipadukan, yaitu antara kebutuhan siswa akan buku teks pelajaran dan
kebutuhan guru untuk penilaian pengembangan diri dengan menyususn buku teks
pelajaran maka akan berdampak lebih positif. Kelebihan buku teks pelajaran
hasil karya guru bisa dipastikan akan lebih efektif dan efisien penggunaannya
dalam kegiatan pembelajaran.
Regulasi
yang ada berkaitan dengan penggunaan anggaran Bantuan Operasional Sekolah sebesar
dua puluh persen yang dialokasikan untuk
pengadaan buku teks pelajaran seharusnya lebih fleksibel dengan memberikan
peluang bagi guru untuk berkarya menghasilkan buku teks pelajaran sendiri. Disamping
guru mampu menghasilkan karya menerbitkan buku teks pelajaran, maka secara
otomatis kompetensi guru akan meningkat. Baik kompetensi teknis berkaitan
dengan mata pelajaran yang diampunya maupun kompetensi dalam bidang penulisan. Hal
ini tentu saja menyebabkan literasi guru akan meningkat karena sebetulnya tidak
hanya peserta didik yang membutuhkan buku referensi ataupun buku penunjang
pembelajaran, melainkan guru juga lebih memerlukannya. Pada akhirnya guru akan
berpacu untuk mengembangkan dan menghasilkan buku teks pelajaran setiap tahun.
Keuntungan
yang lain dari sisi penerbitan buku yaitu akan semakin banyak usaha menengah
dibidang penerbitan yang akan terbantu. Tidak hanya penerbit besar saja yang akan
mendapat orderan menerbitkan buku teks pelajaran tetapi lebih meluas ke penerbit-penerbit
skala kecil dan menengah. Sehingga akan meningkatkan pemerataan taraf ekonomi masyarakat.
Dua puluh persen dari anggaran BOS bukanlah nominal yang sedikit. Akan jauh lebih memberikan dampak positif jika pengelolaannya lebih tepat. Tulisan ini bukan bermaksud mengkritik kebijakan yang berlaku, tetapi hanya sekedar menyampaikan sudut pandang yang berbeda berkaitan dengan alokasi anggaran buku. Dari sudut pandang penulis pribadi bahwa regulasi berkaitan dengan buku teks pelajaran yang diatur sedemikian rupa bertolak belakang dengan regulasi tentang kegiatan keprofesian berkelanjutan dan pengembangan diri bagi guru. Penulis berharap regulasi pemerintah berkaitan dengan pengembangan diri bagi guru juga didukung dengan regulasi lainnya yang sejalan.
0 comments:
Post a Comment